Selasa, 28 November 2017

Diajar Guru Bodoh?

Posted by on Selasa, 28 November 2017
Gambar: i.ytimg.com
“Tidak ada siswa bodoh, yang ada guru yang tidak bisa mengajar.” Kutipan tersebut berulang saya dapati, mulai di media sosial hingga ucapan langsung seseorang. Beberapa tahun yang lalu, ketika masih mengajar di sebuah sekolah di daerah Krapyak, saya bahkan mendengarkan langsung dari seorang yang diundang sekolah untuk menyemangati guru-guru.

Tahun 2015 silam, konsep ini ditarik dalam sebuah film berjudul Flying Colors. Disutradarai oleh Nobuhiro Doi, Flying Colors mengangkat kisah seorang remaja bernama Kudo Sayaka yang banyak menghabiskan waktunya untuk hura-hura. Titik balik Kudo Sayaka adalah saat dirinya bertemu dengan guru bimbelnya, Tsubota Yoshitaka. Tsubota Yoshitaka menganut prinsip “Tidak ada siswa yang bodoh, yang ada hanyalah guru yang tidak bisa mengajar”. Akhirnya, dapat ditebak, film yang diadaptasi dari sebuah novel yang terbit 2013 ini happy ending, Kudo Sayaka berhasil melewat ujian masuk universitasnya.

Pertanyaannya, apa benar demikian, bahwa tidak ada siswa bodoh, justru yang ada guru yang tidak bisa mengajar? Kalau benar, bagaimana bisa terjadi dan bagaimana menyelesaikannya? Sebelum sampai ke pertanyaan itu, hal pertama yang perlu kita lihat bersama adalah definisi “bodoh”. Kita perlu memiliki definisi yang sama atas kata tersebut, kemudian kita bisa membahas perihal siapa yang bodoh.

Hal paling lazim dilakukan seseorang dalam mencari arti kata adalah dengan mencarinya di lema Kamus Besar Bahasa Indonesia, sekarang hadir sebagai KBBI edisi V. Versi daring dari kamus ini dapat diakses secara gratis, demikian pula versi luringnya yang dapat dipasang di smartphone, juga gratis. KBBI mendefinisikan “bodoh” sebagai ‘tidak lekas mengerti’ dan ‘tidak memiliki pengetahuan’. Jika kita rujuk ke dalam bahasa Inggris, sebagaimana didefinisikan Oxford, “bodoh” umumnya disamakan dengan stupid, sebuah keadaan yang mengarah kepada ‘kecerdasan kurang, tidak bisa berpikir jernih, dan lain-lain’.

Pada definisi-definisi tersebut, dikatakan bahwa orang yang bodoh adalah ‘orang yang tidak lekas mengerti, tidak memiliki pengetahuan, memiliki kecerdasan yang kurang, hingga tidak bisa berpikir jernih’. Nah, adakah anak-anak dengan kasus itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita tarik kenangan ke tahun 1992, di mana ketika itu dipopulerkan sebuah mars “Wajib Belajar 9 Tahun” yang di antara liriknya berbunyi “berantas kebodohan, perangi kemiskinan”. Berdasarkan lirik ini, kita dapat memahami bahwa sebuah kebodohan layaknya kemiskinan, bisa diberantas. Jika kita tarik kembali kepada definisi bodoh tadi, bahwa kondisi “tidak lekas mengerti” dan kondisi “tidak memiliki pengetahuan” itu dapat diberantas. Bahkan ini menjadi target Wajib Belajar 9 Tahun yang digencarkan sejak era Orde Baru tersebut.

Balik ke guru-guru di lapangan, beberapa kasus menunjukkan bahwa ada siswa yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup bahkan untuk duduk di jenjang pendidikan yang sedang ditempuhnya. Misalnya, seorang guru di Bantul meminta siswa mencari sebuah cerpen di media massa. Beberapa saat kemudian, ada siswa yang benar-benar membawa cerpen. Sementara itu, siswa lain membawa berbagai jenis tulisan, seperti artikel, surat pembaca, opini, dan lain-lain. Kasus ini menunjukkan bahwa siswa tersebut dalam kondisi ‘tidak memiliki pengetahuan tentang cerpen’. Kondisi ini terlihat mrip dengan definisi “bodoh” tadi, bukan?

Saya sendiri sampai sekarang terlibat mendidik anak-anak dengan kondisi ekonomi yang tidak baik, niat belajar yang tidak baik, dan dukungan orang tua yang tidak baik pula. Akumulasi bertahun-tahun keadaan demikian, menjadikan mereka tidak lekas mengerti ketika diajak memahami banyak hal di sekolah. Jika dicermati, keadaan ini ternyata mirip pula dengan kondisi yang menjadi definisi bodoh dalam KBBI tadi, ‘tidak lekas mengerti’.

Dari dua kasus tadi, menunjukkan secara lugas bahwa siswa yang berada pada kondisi “bodoh” itu ada. Saya katakan “pada kondisi” karena kebodohan yang dialaminya tidaklah bersifat permanen dan meliputi semua hal. Bisa jadi seorang siswa bodoh dalam bidang matematika, tetapi pintar dalam bidang olahraga. Bisa jadi ada siswa yang mendaftar sekolah dalam kondisi bodoh, kemudian berhasil pintar ketika lulus.

Bagaimana dengan guru, apakah ada guru bodoh? Jika kita cermati, peralihan kurikulum dari masa ke masa membuat guru harus belajar lagi karena sebagian besar guru bukanlah perancang kurikulum tersebut. Kondisi para guru yang belum mengerti kurikulum yang baru ini, sama dengan kasus siswa tadi. Itu artinya, guru tersebut juga dalam kondisi ‘bodoh’ dalam bidang kurikulum yang baru.

Selanjutnya, para guru kemudian mendapat pelatihan. Nah, pada tahap ini, bisa dilihat, layaknya siswa, para guru ada pula yang cepat belajar, ada pula yang lambat belajar, bahkan ada guru yang tidak belajar-belajar. Itu artinya, kata “bodoh” juga bisa melekat kepada seorang guru. Lalu, jika guru dalam keadaan bodoh, bagaimana mereka harus mengajar?

Inilah tugas besar pendidikan masa kini. Sebagai institusi yang berperan untuk “memberantas kebodohan”, sekolah semestinya menargetkan memberantas kebodohan para guru dulu agar mereka dapat memberantas kebodohan para siswa.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membuat banyak informasi bisa diakses dengan mudah oleh seorang guru. Kemudahan-kemudahan ini semestinya menjadi modal bagi para guru untuk “mencuri start”, agar terlebih dahulu menjadi pintar, agar kemudian dapat memintarkan para siswanya, agar siswa tidak diajar guru bodoh.

Selamat Hari Guru Nasional 2017! [ ]

Sabjan Badio
Wakil Ketua Ikatan Guru Indonesia Kabupaten Bantul

Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di Harian Bernas edisi 27 Novembe 2017.

Tidak ada komentar: