Jumat, 06 Oktober 2017

Pendidikan Kebencanaan

Posted by on Jumat, 06 Oktober 2017
Sabjan Badio

Sejak menetap di Bantul Desember 2004, pertanyaan yang jamak saya terima adalah tentang asal dan pekerjaan. Setiap saya menyebut nama Bengkulu, respons pertama yang saya terima adalah tentang gempa. Kena gempa, tidak? Waktu gempa kemarin bagaimana? Bengkulu itu sering gempa, ya? adalah di antara pertanyaan yang kerap saya dapati. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan biasanya saya jawab dengan baik, kecuali satu pertanyaan, yaitu pertanyaan “Bengkulu itu di mana, ya?”

Sekali-sekali saya berusaha menjelaskan kondisi geografi Bengkulu yang menyebabkan daerah tersebut sering dilanda gempa. “Jalur gempa” adalah materi yang sering menjadi fokus perhatian. Biasanya, pertama kali mendengarkan istilah tersebut, warga lantas tertawa geli. Mungkin mereka mengasosiasikannya dengan jalur angkutan umum, di mana ketika itu bus kota, angkot, angkudes, dan AKDP masih berjaya.

Hal itu lantas membuat saya membatin, betapa nyamannya hidup di Bantul, tidak ada gempa, tidak ada tsunami, tidak ada banjir, tidak ada pula letusan gunung berapi. Seorang mantan anggota legislatif yang tinggal di daerah Kasongan pun sempat berbangga diri dengan mengatakan bahwa tempat tinggalnya sangat aman, jauh dari gunung, jauh pula dari laut, jauh dari berbagai potensi bencana.

Juli 2006, gempa bumi melanda Bantul dengan kekuatan 5,9 skala Richter, memporak-porandakan persepsi masyarakat tentang bencana. Dengan jarak pusat gempa yang berbeda, saya merasakan goncangan serupa dengan gempa 7,2 skala Richter di Bengkulu tahun 2000. Kendati merasakan goncangan serupa, saya mendapati dampak berbeda. Jika di Bengkulu dengan angka kerusakan 46,532 bangunan, warga yang meninggal “hanya” 94 orang, di Bantul, jumlah kerusakan mencapai 199.990 bangunan (rusak berat, ringan, dan sedang) dengan warga meninggal hingga 6.234 orang—data lain menunjukkan angka 5,778. Jika di Bengkulu selepas gempa saya dapat kembali tidur nyenyak di rumah, di Bantul terpaksa berkemah berhari-hari.

Memang, menyamakan gempa Bengkulu dengan gempa Bantul mungkin bagi sebagian orang dianggap tidak bijak. Sejalan dengan pertimbangan tersebut, uraian ini tidak bermaksud membanding-bandingkan sesuatu yang mungkin tak pantas dibandingkan. Hal yang menjadi poin di sini adalah pemikiran kritis tentang perbedaan dampak antara gempa di Bengkulu dengan gempa di Bantul.

Menurut para ahli, letak pusat gempa dan kondisi geologi suatu daerah sangat berpengaruh terhadap dampak yang ditimbulkan. Faktor lain di luar kondisi geografis adalah kepadatan penduduk dan struktur bangunan. Tentu saja, saya tidak dapat berbicara banyak tentang aspek geografis ini. Mitigasi dari sudut pandang ini niscaya menuntut terjadinya migrasi besar-besaran. Hal yang menjadi fokus di sini adalah faktor kepadatan penduduk dan struktur bangunan.

Beberapa data menunjukkan, bangunan di Kabupaten Bantul ketika gempa 2006 terjadi didominasi oleh bangunan tak tahan gempa. Perpaduan kepadatan penduduk dengan rumah-rumah yang tidak tahan gempa mengakibatkan banyaknya korban yang ditimbulkan. Kondisi ini terlihat berbeda dengan fakta di Bengkulu di mana rumahnya dibangun sedikit-banyak berdasarkan sebuah “kesadarbencanaan”. Kesadaran yang dibangun dari pengalaman menghadapi tingginya frekuensi gempa bumi di daerah tersebut—data Jurnal Berkala Fisika Undip menunjukkan bahwa dalam rantang 2005-2009 terjadi setidaknya 155 gempa bumi kategori gempa terasa di Bengkulu. Jadi, bukan tanpa alasan rumah penduduk di kampung-kampung berstrukturkan kayu dan seng.

Pasca-tersentak oleh goncangan dan dampak gempa 2006 yang diikuti oleh terpaan abu Merapi dan abu Kelud, kesadarbencanaan pun masuk ke relung pemikiran warga Bantul dan sekitarnya. Kesadaran mahal yang dibangun oleh harta dan nyawa teman dan kerabat. Kesadaran kolektif yang sejatinya dapat ditempuh dengan jalan pintas berbiaya murah bernama pendidikan kebencanaan.

Pembentukan Sekolah Siaga Bencana

Patut diapresiasi, kendati bersifat reaktif, pasca-gempa besar 2006 berbagai elemen masyarakat Bantul berusaha berbenah sesuai kapasitasnya masing-masing. Kita saksikan bangunan dibuat lebih kukuh, simulasi tanggap bencana digelar di mana-mana, early warning system dikaji dan dikembangkan, proyek percontohan Sekolah Siaga Bencana (SSB) pun dibentuk. Terkait SSB tersebut, hingga tulisan ini dibuat, pemerintah telah menetapkan setidaknya empat Sekolah Siaga Bencana (SSB) di Kabupaten Bantul. Keempat sekolah tersebut adalah SD Parangtritis, SMP 2 Imogiri, SMA Kretek, dan terakhir SDIT Ar Raihan.

Dibentuknya Sekolah Siaga Bencana ini, menunjukkan keseriusan pemerintah dalam membangun masyarakat Bantul yang sadar bencana. Hal ini sekaligus menunjukkan kesadaran masyarakat Bantul atas strategisnya peran pendidikan dalam membangun kehidupan. Sejalan dengan ungkapan Nelson Mandela, bahwa pendidikan merupakan senjata terampuh untuk mengubah dunia, dalam konteks ini mengubah dan membangun masyarakat Bantul yang sadar bencana.

Sedikit kekhawatiran atas program ini adalah kebiasaan masyarakat yang “hangat-hangat tahi ayam” dalam menghadapi berbagai persoalan, ‘heboh sesaat’. Sekolah Siaga Bencana sejatinya tidak dibentuk secara seremonial demi pelabelan semata. Sekolah-sekolah pilot project tersebut sepantasnya berada di garda depan pendidikan kebencanaan—setidaknya—di Kabupaten Bantul. Sekolah-sekolah percontohan SSB sejatinya dapat menjadi pusat informasi kebencanaan, menjadi mitra berbagai elemen masyarakat yang ingin mendapatkan informasi atau akses lebih jauh tentang kebencanaan, dan yang utama adalah menjadi pusat pengembangan kurikulum pendidikan kebencanaan. []

Penulis adalah alumni program ToT Pengintegrasian Penanggulangan Risiko Bencana ke dalam Kurikulum yang diselenggarakan oleh Puskur Kemdikbud RI dan yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Yogyakarta. Tulisan ini dipublikasikan pertama kali di buletin Pelangi edisi No. 8, Agustus 2015.

Tidak ada komentar: